Minggu, 31 Juli 2011

Sejarah KAMMI

Dasar Kemunculan
Adanya indikator yang mematikan potensi bangsa.
Urgensi Sebuah Tuntutan Reformasi
Adanya Kepentingan Umat Islam Untuk Segera Berbuat
Aksi Demontrasi dan Mimbar Bebas Semakin Menjamur.
Mahasiswa Islam Merupakan Elemen Sosial.
Suara Umat Islam Mulai Terabaikan.
Depolitisasi Kampus Memandulkan Peran Mahasiswa.

Waktu Kelahiran

KAMMI muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif Mahasiswa yang berbasis mahasiswa Muslim dengan mengambil momentum pada pelaksanaan Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X seindonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang. Acara ini dihadiri oleh 59 LDK yang berafiliasi dari 63 kampus (PTN-PTS) diseluruh Indonesia . Jumlah peserta keseluruhan kurang lebih 200 orang yang notabenenya para aktifis dakwah kampus. KAMMI lahir para ahad tanggal 29 April 1998 PK.13.00 wib atau bertepatan dengan tanggal 1 Dzulhijah 1418 H yang dituangkan dalam naskah.Pemilihan Nama
Pemilihan nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia yang kemudian disingkat KAMMI mengandung makna atau memiliki konsekwensi pada beberapa hal yaitu :
KAMMI adalah sebuah kekuatan terorganisir yang menghimpun berbagai elemen Mahasiswa.
Muslim baik perorangan maupun lembaga yang sepakat bekerja dalam format bersama KAMMI.
KAMMI adalah sebuah gerakan yang berorientasi kepada aksi real dan sistematis yang dilandasi gagasan konsepsional yang matang mengenai reformasi dan pembentukan masyarakat Islami (berperadaban).
Kekuatan inti KAMMI adalah kalangan mahasiswa pada berbagai stratanya yang memiliki komitmen perjuangan keislaman dan kebangsaan yang jelas dan benar.
Visi gerakan KAMMI dilandasi pemahaman akan realitas bangsa Indonesia dengan berbagai kemajemukannya, sehingga KAMMI akan bekerja untuk kebaikan dan kemajuan bersama rakyat, bangsa dan tanah air Indonesia.

SEJARAH SINGKAT GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA (GMNI )

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat GMNI, lahir sebagai hasil proses peleburan 3 (tiga) organisasi mahasiswa yang berazaskan Marhaenisme Ajaran Bung Karno. Ketiga organisasi itu ialah:

1. GERAKAN MAHASISWA MARHAENIS, berpusat di Jogjakarta

2. GERAKAN MAHASISWA MERDEKA, berpusat di Surabaya

3. GERAKAN MAHASISWA DEMOKRAT INDONESIA, berpusat di Jakarta.

Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa mulai tampak, ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.

Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seazas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positip.

Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan, maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain:

1. Setuju untuk melakukan fusi

2. Wadah bersama hasil peleburan tiga organisasi bernama “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ” (GMNI).

3. Azas organisasi adalah: MARHAENISME ajaran Bung Karno.

4. Sepakat mengadakan Kongres I GMNI di Surabaya, dalam jangka waktu enam bulan setelah pertemuan ini.

Para pimpinan tiga organisasi yang hadir dalam pertemuan ini antara lain:

Dari Gerakan Mahasiswa Merdeka:
- SLAMET DJAJAWIDJAJA
- SLAMET RAHARDJO
- HERUMAN

Dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis:
- WAHYU WIDODO
- SUBAGIO MASRUKIN
- SRI SUMANTRI MARTOSUWIGNYO

Dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia:
- S.M. HADIPRABOWO
- DJAWADI HADIPRADOKO
- SULOMO

Dengan direstui Presiden Sukarno, pada tanggal 22 Maret 1954, dilangsungkan Kongres I GMNI di Surabaya. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi GMNI (Dies Natalis) yang diperingati hingga sekarang. Adapun yang menjadi materi pokok dalam Kongres I ini, selain membahas hasil-hasil kesepakatan antar tiga pimpinan organisasi yang berfusi, juga untuk menetapkan personil pimpinan di tingkat pusat.

Latar Belakang Sejarah Berdirinya HMI

Kalau ditinjau secara umum ada 4 (empat) permasalahan yang menjadi latar belakang sejarah berdirinya HMI.
Situasi Dunia Internasional.
Berbagai argumen telah diungkapkan sebab-sebab kemunduran ummat Islam. Tetapi hanya satu hal yang mendekati kebenaran, yaitu bahwa kemunduran ummat Islam diawali dengan kemunduran berpikir, bahkan sama sekali menutup kesempatan untuk berpikir. Yang jelas ketika ummat Islam terlena dengan kebesaran dan keagungan masa lalu maka pada saat itu pula kemunduran menghinggapi kita.
Akibat dari keterbelakangan ummat Islam , maka munculah gerakan untuk menentang keterbatasan seseorang melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh. Gerakan ini disebut Gerakan Pembaharuan. Gerakan Pembaharuan ini ingin mengembalikan ajaran Islam kepada ajaran yang totalitas, dimana disadari oleh kelompok ini, bahwa Islam bukan hanya terbatas kepada hal-hal yang sakral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk itu sasaran Gerakan Pembaharuan atau reformasi adalah ingin mengembalikan ajaran Islam kepada proporsi yang sebenarnya, yang berpedoman kepada Al Qur’an dan Hadist Rassullulah SAW.
Dengan timbulnya ide pembaharuan itu, maka Gerakan Pem-baharuan di dunia Islam bermunculan, seperti di Turki (1720), Mesir (1807). Begitu juga penganjurnya seperti Rifaah Badawi Ath Tahtawi (1801-1873), Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Wahabisme) di Saudi Arabia (1703-1787), Sayyid Ahmad Khan di India (1817-1898), Muhammad Iqbal di Pakistan (1876-1938) dan lain-lain.
Situasi NKRI
Tahun 1596 Cornrlis de Houtman mendarat di Banten. Maka sejak itu pulalah Indonesia dijajah Belanda. Imprealisme Barat selama ± 350 tahun membawa paling tidak 3 (tiga) hal :
• Penjajahan itu sendiri dengan segala bentuk implikasinya.
• Missi dan Zending agama Kristiani.
• Peradaban Barat dengan ciri sekulerisme dan liberalisme.
Setelah melalui perjuangan secara terus menerus dan atas rahmat Allah SWT maka pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta Sang Dwi Tunggal Proklamasi atas nama bangsa Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya.
Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di Indonesia
Kondisi ummat Islam sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : Pertama : Sebagian besar yang melakukan ajaran Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan seperti dalam upacara perkawinan, kematian serta kelahiran. Kedua : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekkan ajaran Islam sesuai yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh mistikisme yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja. Keempat : Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, selaras dengan wujud dan hakekat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-benar dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia.
Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan
Ada dua faktor yang sangat dominan yang mewarnai Perguruan Tinggi (PT) dan dunia kemahasiswaan sebelum HMI berdiri. Pertama: sisitem yang diterapkan dalam dunia pendidikan umumnya dan PT khususnya adalah sistem pendidikan barat, yang mengarah kepada sekulerisme yang “mendangkalkan agama disetiap aspek kehidupan manusia”. Kedua : adanya Perserikatan MAHASISWA Yogyakarta (PMY) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Surakarta dimana kedua organisasi ini dibawah pengaruh Komunis. Bergabungnya dua faham ini (Sekuler dan Komunis), melanda dunia PT dan Kemahsiswaan, menyebabkan timbulnya “Krisis Keseimbangan” yang sangat tajam, yakni tidak adanya keselarasan antara akal dan kalbu, jasmani dan rohani, serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun. Tentang sosok Lafran Pane, dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda Lafran Pane lahir di Sipirok-Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Beliau adalah anak seorang Sutan Pangurabaan Pane –tokoh pergerakan nasional “serba komplit” dari Sipirok, Tapanuli Selatan-. Lafaran Pane adalah sosok yang tidak mengenal lelah dalam proses pencarian jati dirinya, dan secara kritis mencari kebenaran sejati. Lafran Pane kecil, remaja dan menjelang dewasa yang nakal, pemberontak, dan “bukan anak sekolah yang rajin” adalah identitas fundamental Lafran sebagai ciri paling menonjol dari Independensinya. Sebagai figur pencarai sejati, independensi Lafran terasah, terbentuk, dan sekaligus teruji, di lembaga-lembaga pendidikan yang tidak Ia lalui dengan “Normal” dan “lurus” itu (-Walau Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim terpelajar pernah juga menganyam pendidikan di Pesantren Ibtidaiyah, Wusta dan sekolah Muhammadiyah-) ; pada hidup berpetualang di sepanjang jalanan kota Medan, terutama di kawasan Jalan Kesawan; pada kehidupan dengan tidur tidak menentu; pada kaki-kaki lima dan emper pertokoan; juga pada kehidupan yang Ia jalani dengan menjual karcis bioskop, menjual es lilin, dll.
Dari perjalanan hidup Lafran dapat diketahui bahwa struktur fundamental independensi diri Lafran terletak pada kesediaan dan keteguhan Dia untuk terus secara kritis mencari kebenaran sejati dengan tanpa lelah, dimana saja, kepada saja, dan kapan saja.
Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: “Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat”
Namun demikian, secara keseluruhan Latar Belakang Munculnya Pemikiran dan Berdirinya HMI dapat dipaparkan secara garis besar karena faktor, sebagai berikut :
1. Penjajahan Belanda atas Indonesia dan Tuntutan Perang Kemerdekaan
 Aspek Politik : Indonesia menjadi objek jajahan Belanda
 Aspek Pemerintahan : Indonesia berada di bawah pemerintahan kerajaan Belanda
 Aspek Hukum : Hukum berlaku diskriminatif
 Aspek pendidikan : Proses pendidikan sangat dikendalikan oleh Belanda.
- Ordonansi guru
- Ordonansi sekolah liar
 Aspek ekonomi : Bangsa Indonesia berada dalam kondisi ekonomi lemah
 Aspek kebudayaan : masuk dan berkembangnya kebudayaan yang bertentangan dengan kepribadian Bangsa Indonesia
 Aspek Hubungan keagamaan : Masuk dan berkembagnya Agama Kristen di Indonesia, dan Umat Islam mengalami kemunduran
2. Adanya Kesenjangan dan kejumudan umat dalam pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan ajaran islam
3. Kebutuhan akan pemahaman dan penghayatan Keagamaan
4. Munculnya polarisasi politik
5. Berkembangnya fajam dan Ajaran komunis
6. Kedudukan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis
7. Kemajemukan Bangsa Indonesia
8. tuntutan Modernisasi dan tantangan masa depan
Peristiwa Bersejarah 5 Februari 1947
Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang berakhir dengan kegagalan. Lafran Pane mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan secara mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir. Ketika itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5 Februari 1947, disalah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya dalam memimpin rapat antara lain mengatakan “Hari ini adalah pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan”
Lafran Pane mendirikan HMI bersama 14 orang mahasiswa STI lannya, tanpa campur tangan pihak luar.
Pada awal pembentukkannya HMI bertujuan diantaranya antara lain:
1. Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Sementara tokoh-tokoh pemula / pendiri HMI antara lain :
1. Lafran Pane (Yogya),
2. Karnoto Zarkasyi (Ambarawa),
3. Dahlan Husein (Palembang),
4. Siti Zainah (istri Dahlan Husein-Palembang)
5. Maisaroh Hilal (Cucu KH.A.Dahlan-Singapura),
6. Soewali (Jember),
7. Yusdi Ghozali (Juga pendiri PII-Semarang),
8. Mansyur,
9. M. Anwar (Malang),
10. Hasan Basri (Surakarta),
11. Marwan (Bengkulu),
12. Zulkarnaen (Bengkulu),
13. Tayeb Razak (Jakarta),
14. Toha Mashudi (Malang),
15. Bidron Hadi (Yogyakarta).
Faktor Pendukung Berdirinya HMI
1. Posisi dan arti kota Yogyakarta
a. Yogyakarta sebagai Ibukota NKRI dan Kota Perjuangan
b. Pusat Gerakan Islam
c. Kota Universitas/ Kota Pelajar
d. Pusat Kebudayaan
e. Terletak di Central of Java
2. Kebutuhan Penghayatan dan Keagamaan Mahasiswa
3. Adanya tuntutan perang kemerdekaan bangsa Indonesia
4. Adanya STI (Sekolah Tinggi Islam), BPT (Balai Perguruan Tinggi)
5. Gajah Mada, STT (Sekolah Tinggi Teknik).
6. Adanya dukungan Presiden STI Prof. Abdul Kahar Muzakir
7. Ummat Islam Indonesia mayoritas
Faktor Penghambat Berdirinya HMI
Munculnya reaksi-reaksi dari :
1. Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY)
2. Gerakan Pemuda Islam (GPII)
3. Pelajar Islam Indonesia (PII)
FASE-FASE PERKEMBANGAN SEJARAH HMI
1. Fase Konsolidasi Spiritual (1946-1947)
Sudah diterangkan diatas
2. Fase Pengokohan (5 Februari 1947 – 30 November 1947)
Selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan yang datang silih berganti, yang kesemuanya itu semakin mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegak dan kokoh.
3. Fase Perjuangan Bersenjata (1947 – 1949)
Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun kegelanggang pertempuran melawan agresi yang dilakukan oleh Belanda, membantu Pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakkan PKI di Madiun 18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono dan wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu Pemerintah menumpas pemberontakkan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci itu nampak sangat menonjol pada tahun \’64-\’65, disaat-saat menjelang meletusnya G30S/PKI.
4. Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)
Selama para kader HMI banyak yang terjun ke gelanggang pertempuran melawan pihak-pihak agresor, selama itu pula pembinaan organisasi terabaikan. Namun hal itu dilakukan secara sadar, karena itu semua untuk merealisir tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas Agama dan tugas Bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan Rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksankanlah tugas-tugas konsolidasi internal organisasi. Disadari bahwa konsolidasi organisasi adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
5. Fase Tantangan (1964 – 1965)
Dendam sejarah PKI kepada HMI merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi HMI. Setelah agitasi-agitasinya berhasil membubarkan Masyumi dan GPII, PKI menganggap HMI adalah kekuatan ketiga ummat Islam. Begitu bersemangatnya PKI dan simpatisannya dalam membubarkan HMI, terlihat dalam segala aksi-aksinya, Mulai dari hasutan, fitnah, propaganda hingga aksi-aksi riil berupa penculikan, dsb.
Usaha-usaha yang gigih dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak menjadi kenyataan, dan sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa yang kontra revolusi, PKI dengan puncak aksi pada tanggal 30 September 1965 telah membuatnya sebagai salah satu organisasi terlarang.
6. Fase Kebangkitan HMI sebagai Pelopor Orde Baru (1966 – 1968)
HMI sebagai sumber insani bangsa turut mempelopori tegaknya Orde Baru untuk menghapuskan orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha itu tampak antara lain HMI melalui Wakil Ketua PB Mari\’ie Muhammad memprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25 Oktober 1965 yang bertugas antara lain : 1) Mengamankan Pancasila. 2) Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam penumpasan Gestapu/ PKI sampai ke akar-akarnya. Masa aksi KAMI yang pertama berupa Rapat Umum dilaksanakan tanggal 3 Nopember 1965 di halaman Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta, dimana barisan HMI menunjukan superioitasnya dengan massanya yang terbesar. Puncak aksi KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang mengumandangkan tuntutan rakyat dalam bentuk Tritura yang terkenal itu. Tuntutan tersebut ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan sehingga tidak sedikit dari pihak mahasiswa menjadi korban. Diantaranya antara lain : Arif rahman Hakim, Zubaidah di Jakarta, Aris Munandar, Margono yang gugur di Yogyakarta, Hasannudin di Banjarmasin, Muhammad Syarif al-Kadri di Makasar, kesemuanya merupakan pahlawan-pahlawan ampera yang berjuang tanpa pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan ummat serta keselamatan bangsa serta negara. Akhirnya puncak tututan tersebut berbuah hasil yang diharap-harapkan dengan keluarnya Supersemar sebagai tonggak sejarah berdirinya Orde Baru.
7. Fase Pembangunan (1969 – 1970)
Setelah Orde Baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen (meski hal ini perlu kajian lagi secara mendalam), maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). HMI pun sesuai dengan 5 aspek pemikirannya turut pula memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam era awal pembagunan. Bentuk-bentuk partisipasi HMI baik anggotanya maupun yang telah menjadi alumni meliputi diantaranya :
1) Partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan,
2) Partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran
3) Partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.
8. Fase Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970 – 1998 )
Suatu ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya adalah kebebasan berpikir dikalangan anggotanya, karena pada hakikatnya timbulnya pembaharuan karena adanya pemikiran yang bersifat dinamis dari masing-masing individu.
Disebutkan bahwa fase pergolakan pemikiran ini muncul pada tahun 1970, tetapi geja-gejalanya telah nampak pada tahun 1968. Namun klimaksnya memang terjadi pada tahun 1970 dimana secara relatif masalah-masalah intern organisasi yang rutin telah terselesaikan. Sementara dilain sisi persoalan ekstern muncul menghadang dengan segudang problema.
Pada tahun 1970 Nurcholis Madjid menyampaikan ide pembaharuan dengan topic keharusan pembaharuan didalam pemikiran Islam dan masalah integritas umat. Sebagai konsekuensinya di HMI timbul pergolakan pemikiran dalam berbagai substansi permasalahan yang. Perbedaan pendapat dan penafsiran menjadi dinamika di dalam menginterpretasikan dinamika persoalan kebangsaan dan keumatan. Hal ini misalnya dalam dialektika dan perbincangan seputar Negara dan Islam, konsep Negara Islam, persoalan Islam Kaffah sampai pada penyesuaian dasar HMI dari Islam menjadi Pancasila sebagai bentuk ijtihad organisasi didalam mempertahankan cita-cita jangka panjang keummatan dan kebangsaan.
9. Fase Reformasi
Secara histories sejak tahun 1995 HMI mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan pandangan, gagasan dan kritik terhadap pemerintahan. Sesuai dengan kebijakan PB HMI bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontatif. Gerakan koreksi pemerintahanpertama disampaikan pada jaman konggres XX HMI di Istana Negara tanggal 21 Januari 1995. kemudian peringatan MILAD HMI Ke 50 Saudara Ketua Umum Taufiq Hidayat menegaskan dan menjawab kritik-kritik yang menyebutkan bahwa HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI kekuasaan bukanlah wilayah yang haram. Tetapi adalah wilayah pencermatan dan kekritisan terhadap pemerintahan. Kemudian dalam penyampaian Anas Urbaningrun pada MILAD HMI ke 51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Pebruari 1998 dengan judul “Urgensi Reformasi bagi Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat”.
MASA DEPAN HMI TANTANGAN DAN PELUANG
Kritik terhadap HMI datang dari dalam dan dari luar HMI. Kritik ini sangat positif karena dengan demikian HMI akam mengetahui kekurangan dan kelebihan organisasi. Sehingga kedepan kita mampu memperbaiki dan menentukan sikap dan kebijakan yang sesuai dengan keadaan jaman.
Dari masa kemasa, beberapa persoalan yang dihadapkan pada HMI tentang kritik independensi HMI, kedekatan dengan militer, sikap HMI terhadap komunisme, tuntutan Negara Islam, dukungan terhadap rehabilitasi masyumi, penerimaan azas tunggal Pancasila, adaptasi rasionalitas pemikiran, dan lain-lain yang memberikan penilaian kemunduran terhadap HMI, Yahya Muhaimin dalam konggres HMI ke XX mengemukakan konsep tentang revitalisasi, reaktualisasi, refungsionalisasi, dan restrukturisasi organisasi. Anas Urbaningrum menjawabnya dengan pemberian wacana politik etis HMI. Yakni dengan langkah : Peningkatan visi HMI, intelektualisasi, penguasaan basis dan modernisasi organisasi.
Untuk pencapaian tujuan HMI perlu dipersiapkan kondisi yang tepat sebagai modal untuk merekayasa masa depan sesuai dengan 5 kualitas insan cita HMI. Tantangan yang dihadapi HMI dan masa depan bangsa Indonesia sangat komplek. Tetapi justeru akan menjadi peluang yang sangat baik untuk memperjuangkan cita-cita HMI sampai mencapai tujuan.
PENUTUP
Dengan mengetahui sejarah masa lampau dapat diketahui kebesaran dan semangat juang HMI. Hal tersebut merupakan tonggak bagi HMI untuk meneruskan perjuangan para pendahulunya pada masa kini dan menuju hari esok yang lebih baik. Mempelajari HMI tidak hanya cukup dengan mengikuti training formal. Mempelajari dan menghayati HMI harus dilakukan secara terus menerus tanpa batas kapan dan dimanapun. Dengan cara seperti itulah pemahaman dan penghayatan akan nilai-nilai HMI dapat dilakukan secata utuh dan benar.
Yakin usaha sampai bahagia hmi.

Sejarah IMM



Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) didirikan di Yogyakarta pada tangal 14 Maret 1964 M, bertepatan dengan tanggal 29 Syawwal 1384 H. Dibandingkan dengan organisasi otonom lainya diMuhammadiyah, IMM paling belakangan dibentuknya. Organisasi otonom lainnya seperti Nasyiatul `Aisyiyah (NA) didirikan pada tanggal 16 Mei 1931 M (28 Dzulhijjah 1349 H); Pemuda Muhammadiyah dibentuk pada tanggal 2 Mei 1932 M (25 Dzulhijjah 1350 H); dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM, yang namanya diganti menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah [IRM]) didirikan pada tanggal 18 Juli 1961 M (5 Shaffar 1381 H).
Kelahiran IMM dan keberadaannya hingga sekarang cukup sarat dengan sejarah yang melatarbelakangi, mewarnai, dan sekaligus dijalaninya. Dalam konteks kehidupan umat dan bangsa, dinamika gerakan Muhammadiyah dan organisasi otonomnya, serta kehidupan organisasi-organisasi mahasiswa yang sudah ada, bisa dikatakan IMM memiliki sejarahnya sendiri yang unik. Hal ini karena sejarah kelahiran IMM tidak luput dari beragam penilaian dan pengakuan yang berbeda dan tidak jarang ada yang menyudutkannya dari pihak-pihak tertentu. Pandangan yang tidak apresiatif terhadap IMM ini berkaitan dengan aktivitas dan keterlibatan IMM dalam pergolakan sejarah bangsa Indonesia pada pertengahan tahun '60-an; serta menyangkut keberadaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada waktu itu.
Ketika IMM dibentuk secara resmi, itu bertepatan dengan masa-masanya HMI yang sedang gencar dirusuhi oleh PKI dan CGMI serta terancam mau dibubarkan oleh rezim kekuasaan Soekarno. Sehingga kemudian muncul anggapan dan persepsi yang keliru bahwa IMM didirikan adalah untuk menampung dan mewadahi anggota HMI jika dibubarkan. Logikanya dalam mispersepsi ini, karena HMI tidak jadi dibubarkan, maka IMM tidak perlu didirikan. Anggapan dan klaim yang mengatakan bahwa IMM lahir karena HMI akan dibubarkan, menurut Noor Chozin Agham, adalah keliru dan kurang cerdas dalam memberi interpretasi terhadap fakta dan data sejarah. Justru sebaliknya, salah satu faktor historis kelahiran IMM adalah untuk membantu eksistensi HMI dan turut mempertahankannya dari rongrongan PKI yang menginginkannya untuk dibubarkan.
Penilaian yang kurang apresiatif terhadap kelahiran IMM juga bisa terbaca pada jawaban terhadap pertanyaan Victor I. Tanja. Dalam bukunya Tanja mempertanyakan: Barangkali kita akan heran, mengapa Muhammadiyah memandang perlu untuk membentuk organisasi mahasiswanya sendiri? Dari salah seorang anggota HMI (yang tidak disebutkan atau menyebutkan namanya) keluar jawaban, bahwa selama masa pemerintahan Presiden Soekarno dahulu untuk mendapatkan persetujuan darinya, sebuah organisasi harus dapat membuktikan bahwa ia mempuanyai dukungan kuat dari masyarakat luas. Untuk memenuhi persayaratan inilah maka bukan saja Muhammadiyah, tetapi semua gerakan sosial politik yang ada di tanah air harus membentuk sebanyak mungkin organisasi-organisasi penunjang.
Latar Belakang Sejarah
Sesungguhnya ada dua faktor integral yang menjadi dasar dan latar belakang sejarah berdirinya IMM, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor yang terdapat dan ada dalam organisasi Muhmmadiyah itu sendiri. Sedangkan faktor ekstern adalah hal-hal dan keadaan yang datang dari dan berada di luar Muhammadiyah, yaitu situasi dan kondisi kehidupan umat dan bangsa serta dinamika gerakan organisasi-organisasi mahasiswa.
Faktor intern sebetulnya lebih dominan dalam bentuk motivasi idealis dari dalam, yaitu dorongan untuk mengembangkan ideologi, paham, dan cita-cita Muhammadiyah. Untuk mewujudkan cita-cita dan merefleksikan ideologinya itu, maka Muhammadiyah mesti bersinggungan dan berinteraksi dengan berbagai lapisan dan golongan masyarakat yang majemuk. Ada masyarakat petani, pedagang, birokrat, intelektual, profesional, mahasiswa. dan sbagainya.
Interaksi dan persinggungan Muhammadiyah dengan mahasiswa untuk merealisasikan maksud dan tujuannya itu, cara dan strateginya bukan secara langsung terjun mendakwahi dan mempengaruhinya di kampus-kampus perguruan tinggi. Tetapi caranya adalah dengan menyediakan dan membentuk wadah khusus yang bisa menarik animo dan mengembangkan potensi mahasiswa. Anggapan mengenai pentingnya wadah bagi mahasiswa tersebut lahir pada saat Muktamar ke-25 Muhammadiyah (Kongres Seperempat Abad Kelahiran Muhammdiyah) pada tahun 1936 di Jakarta. Pada kesempatan itu dicetuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendidirkan universitas atau perguruan tinggi Muhammadiyah.
Namun demikian, keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa-mahasiswa Muhammadiyah tersebut tidak bisa langsung terwujud, karena pada saat itu Muhammadiyah belum memiliki perguruan tinggi sendiri. Untuk menjembataninya, maka para mahasiswa yang sepaham, atau mempunyai alam pikiran yang sama, dengan Muhammadiyah itu diwadahi dalam organisasi otonom yang telah ada seperti NA dan Pemuda Muhammadiyah, serta tidak sedikit pula yang berkecimpung di HMI. Pada tanggal 18 November 1955, Muhammadiyah baru bisa mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan perguruan tinggi yang sejak lama telah dicetuskannya pada tahun 1936, yaitu dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Filsafat di Padang Panjang. Pada tahun 1958, fakultas serupa dibangun di Surakarta; kemudian di Yogyakarta berdiri Akademi Tabligh Muhammadiyah; dan Fakultas Ilmu Sosial di Jakarta, yang kemudian berkembang menjadi Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kendati demikian, cita-cita untuk membentuk organisasi bagi mahasiswa muhammadiyah tersebut belum bisa terbentuk juga pada waktu itu. Kendala utamanya karena Muhammadiyah --yang waktu itu masih menjadi anggota istimewa Masyumi-- terikat Ikrar Abadi umat Islam yang dicetuskan pada tanggal 25 Desember 1949, yang salah satu isinya menyatakan satu-satunya organisasi mahasiswa Islam adalah HMI.
Sejak kegiatan pendidikan tinggi atau perguruan tinggi Muhammadiyah berkembang pada tahun 1960-an itulah kembali santer ide tentang perlunya organisasi yang khusus mewadahi dan menangani mahasiswa. Sementara itu, menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta pada tahun 1962, mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi Muhammadiyah mengadakan Kongres Mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Dari kongres ini pula upaya untuk membentuk organisasi khusus bagi mahasiswa Muhammadiyah kembali mengemuka. Pada tanggal 15 Desember 1963 mulai diadakan penjajagan berdirinya Lembaga Dakwah Mahasiswa yang idenya berasal dari Drs. Mohammad Djazman, dan kemudian dikoordinir oleh Ir. Margono, dr. Soedibjo Markoes, dan Drs. A. Rosyad Sholeh.
Dorongan untuk segera membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga datang dari para mahasiswa Muhammadiyah yang ada di Jakarta seperti Nurwijoyo Sarjono, M.Z. Suherman, M. Yasin, Sutrisno Muhdam dan yang lainnya. Dengan banyaknya desakan dan dorongan tersebut, maka PP Pemuda Muhammadiyah -- waktu itu M. Fachrurrazi sebagai Ketua Umum dan M. Djazman Al Kindi sebagai Sekretaris Umum-- mengusulkan kepada PP Muhammadiyah --yang waktu itu diketuai oleh K.H. Ahmad Badawi-- untuk mendirikan organisasi khusus bagi mahasiswa yang diiberi nama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah --atas usul Drs. Mohammad Djazman yang--, dan kemudian disetujui oleh PP Muhammadiyah serta diresmikan pada tanggal 14 Maret 1964 (29 Syawwal 1384). Peresmian berdirinya IMM itu resepsinya diadakan di gedung Dinoto Yogyakarta; dan ditandai dengan penandatanganan "Enam Penegasan IMM" oleh K.H. Ahmad Badawi, yang berbunyi:
1. Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam;
2. Menegaskan bahwa kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM;
4. Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amala adalah ilmiah;
5. Menegaskan bahwa amal IMM adalah lilLahi Ta'ala dan seenantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat.

Sedangkan faktor ekstern berdirinya IMM berkaitan dengan situasi dan kondisi kehidupan di luar dan di sekitar Muhammadiyah. Hal ini paling tidak bertalian dengan keadaan umat Islam, kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia, serta dinamika gerakan mahasiswa.
Keadaan dan kehidupan umat Islam waktu itu masih banyak dipenuhi oleh tradisi, paham, dan keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Keyakinan dan praktek keagamaan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa, banyak bercampur baur dengan takhayul, bid`ah, dan khurafat.
Sementara itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga tengah terancam oleh pengaruh ideologi komunis (PKI), keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan konflik kekuasaan antar golongan dan partai politik. Sehingga, kendati waktu itu Indonesia telah merdeka selama kurang lebih 20 tahun, namun tidak bisa mencerminkan makna dan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Demokrasi dan kedaulatan rakyat terkungkung, sementara tirani kekuasaan dan otoritarianisme merajalela akibat kebijakan demokrasi terpimpin ala Soekarno.
Keadaan politik Indonesia sekitar awal sampai dengan pertengahan tahun '60-an, tulis Cosmas Batubara, sangat menarik. Banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa perkembangan dan kehidupan politik saat itu diwarnai oleh tiga pelaku politik yang amat dominan, yaitu: Diri pribadi Presiden soekarno; ABRI (terutama sekali angkatan Darat); dan PKI. Ketiga kekuatan politik tersebut sangat mewarnai dan mempengaruhi perilaku dan orientasi kehidupan berbangsa, dan bernegara di berbagai lapisan dan kelompok masyarakat. Di kalangan organisasi mahasiswa, orientasi dan perilaku politiknya juga terbagi ke dalam tiga kekuatan dominan tadi. Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Di tengah kemelut dan pertentangan garis politik tersebut, pergolakan organisasi-organisasi mahasiswa sampai dengan terjadinya G 30 S/PKI 1965 terlihat menemui jalan buntu dalam mempertahankan partisipasinya di era kemerdekaan RI. Pada waktu itu sejak Kongres Mahasiswa Indonesia di malang pada tanggal 8 Juni 1947, organisais-organisasi mahasiswa seperti HMI, PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), PMKI (Persekutuan Mahasiswa Kristen Indonesia; yang pada tahun 1950 berubah menjadi GMKI [Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia]), PMJ (Persatuan Mahasiswa Jogjakarta), PMD (Persatuan Mahasiswa Djakarta), MMM (Masyarakat Mahasiswa Malang), PMKH (Persatuan Mahasiswa Kedokteran Hewan), dan SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia) berfusi ke dalam PPMI (Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang bersifat independen. Independensi PPMI sebagai penggalang kekuatan anti-imperialisme pada mulanya berjalan kompak. Tetapi setelah mengadakan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (KMAA) di Bandung tahun 1957 --yang menjadi prestasi puncak PPMI-- masing-masing organisasinya kemudian memisahkan diri. Hal ini karena pada tahun 1958 PPMI menerima CGMI, selundupan PKI, yang kemudian melancarkan aksi intervensi untuk mempengaruhi organisasi mahasiswa lain agar keluar dari PPMI. Akhirnya , karena kuatnya pengaruh dan intervensi dari CGMI tersebut, maka masing-masing organisasi dalam PPMI memisahkan diri. Pada bulan oktober 1965, setelah PKI dilumpuhkan, PPMI akhirnya secara resmi membubarkan diri. Sasaran gerakan CGMI sebetulnya ingin mendominasi gerakan mahasiswa dan kehidupan kampus serta ingin menyingkirkan organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti HMI.
Sesungguhnya sebelum PPMI membubarkan diri, antara tahun 1964 sampai 1965 masing-masing organisasi mahasiswa yang berfusi di dalamnya bersikap sok revolusioner. Pada akhirnya HMI juga tidak ketinggalan untuk menjadi bagian dari kekuatan revolusioner. Menurut Deliar Noer, waktu itu HMI dengan keras turut menyanyikan senandung Demokrasi Terpimpin. Slogan-slogan Soekarno mulai dikumandangkan seperti "Nasakom jiwaku", "revolusioner", dan "ganyang Malaysia". Bahkan pada tahun 1964 HMI memecat beberapa anggota penasihatnya yang telah alumni karena tidak sesuai dengan revolusi. HMI juga mengecam keras Kasman Singodimedjo yang sedang menghadapi pengadilan di Bogor dan menuntut dihukum sekeras-kerasnya bila bersalah.
Kendati HMI telah berusaha menunjukkan eksistensi dirinya sebagai bagian dari kekuatan revolusioner, namun tetap saja HMI menjadi sasaran CGMI dan/atau PKI untuk dibubarkan. Pada saat saat HMI terdesak itulah Ikatan mahasiswa Muhammadiyah lahir pada tanggal 14 maret 1964 (29 Syawal 1384 H). Itulah sebabnya muncul persepsi yang keliru bahwa IMM dibentuk adalah sebagai persiapan untuk menampung aggota-anggota HMI kalau terjadi dibubarkan. Persepsi yang keliru ini dikaitkan dengan dekatnya hubungan HMI dengan Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui bahwa HMI pada mulanya didirikan dan dibesarkan oleh orang-orang Muhammadiyah, maka kalau HMI dibubarkan Muhammadiyah harus menyediakan wadah lain.
Persepsi tersebut adalah keliru, karena kelahiran IMM salah satu faktor historisnya adalah justru untuk membantu dan mempertahankan eksistensi HMI supaya tidak mempan dengan usaha-usaha PKI yang ingin membubarkannya. Sebab, kalau kelahiran IMM diperuntukkan untuk mengganti HMI jika dibubarkan, maka IMM tidak perlu repot-repot terlibat dalam beraksi menentang PKI yang mau membubarkan HMI. Di antara praduga mengapa kehadiran IMM dalam sejarah gerakan mahasiswa dipersoalkan adalah karena sangat dekatnya kelahiran IMM --kendati ide dasarnya sudah ada sejak tahun 1936-- dengan peristiwa G 30 S/PKI. Sehingga muncul pertanyaan (yang menggugat), mengapa IMM yang baru lahir sudah langsung terlibat dalam peristiwa nasional dan sejarah besar dalam pergulatan bangsa melawan dan menghancurkan PKI. Pada tahun 1965, IMM juga ikut bergabung dalam wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dan Slamet Sukirnanto, salah seorang tokoh DPP IMM, pada saat dibentuknya KAMI menjadi salah satu Ketua Presidium Pusat KAMI. IMM sendiri pada masa-masa awal berdiriya tidak luput dari ancaman dan teror PKI. Reaksi jahat dari PKI terhadap kelahiran IMM tersebut tidak saja tejadi di pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Untuk menyelamatkan eksistensi IMM yang baru berdiri itu, maka dalam kesempatan audiensi dan silaturahmi dengan Presiden Soekarno di Istana Negara Jakarta pada tanggal 14 Februari 1965 DPP IMM meminta restunya. "Saja beri restu kepada Ikatan Mahasiswa Muhammadijah", demikian pernyataan yang ditandatangai oleh Presiden Soekarno. Karena IMM merupakan kebutuhan intern dan ekstern Muhammadiyah, maka tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah yang sebelumnya bergabung dengan HMI kembali, sekaligus untuk membina dan mengembangkan IMM. Dalam hal ini juga muncul klaim dan persepsi yang keliru, bahwa IMM dilahirkan oleh HMI. Tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah khususnya yang terlibat menghembangkan HMI, karena waktu itu IMM belum ada. Sementara keterlibatan mereka di HMI adalah untuk mengembangkan ideologi Muhammadiyah. Buktinya setelah sekian lama ada di HMI, ternyata HMI yang sudah dimasuki oleh mahasiswa dari berbagai kalangan ormas keislaman itu pada akhirnya berbeda dengan orientasi Muhammadiyah. Oleh karena itu adalah wajar jika pada akhirnya mereka kembali ke Muhammadiyah sekaligus untuk turut mengembangkan IMM. Hal ini seperti yang terjadi di Yogyakarta, Jakarta, Riau, Padang, Ujungpandang dan lain lain. Juga perlu dicatat bahwa para tokoh PP Pemuda Muhammadiyah dan NA yang terlibat dalam mengusahakan terbentunya IMM sejak awal sampai berdirinya adalah mereka yang betul-betul tidak pernah terlibat dalam HMI. Berdirinya IMM berdasarkan perjalanan sejarahnya tersebut adalah karena tuntutan dan keharusan sejarah (historical nessecity) dalam kontek kehidupan umat, bangsa, dan negara serta dinamika gerakan mahasiswa di Indonesia. Adapun maksud berdirinya IMM adalah:
1. Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa;
2. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam;
3. Sebagai upaya untuk menopang, melangsungkan, dan meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah;
4. Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna cita-cita pembaruan dan amal usaha Muhammadiyah;
5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, umat, dan persyarikatan.

Dinamika Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Seperti halnya organisasi-organisasi lain, dalam karir sejarahnya IMM mengalami dinamika gerakan yang naik turun dan pasang surut. Selama lebih dari tiga setengah dasawarsa ini, IMM telah mengalami empat periode gerakan. Pertama, periode pergolakan dan pemantapan (1964-1971). Kedua, periode pengembangan (1971-1975). Ketiga, periode tantangan (1975-1985). Keempat, periode kebangkitan (1985-?).
Dalam periode pergolakan dan pemantapan ini, IMM yang masih sangat muda harus berhadapan dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya di tengah kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama yang sangat rawan dan kritis. IMM pada saat itu langsung berhadapan dengan kebijakan Manipol Usdek Bung Karno, Nasakom, dan ancaman PKI. Dalam periode ini kegiatan-kegiatan IMM lebih banyak diarahkan kepada pembinaan personil, penguatan organisasi, pembentukan dan pengembangan IMM di kota-kota maupun perguruan tinggi. Dalam periode ini pula pola gerakan, prinsip perjuangan dan perangkat organisasi IMM berhasil ditetapkan.
Dalam periode ini telah terselenggara tiga kali Musyawarah Nasional (Muktamar) dan empat kali Konferensi Nasional (Tanwir) serta terbentuk lima kali formasi kepemimpinan IMM. Selama periode ini Mohammad Djazman Al-Kindi terus menjadi Ketua Umum DPP IMM. Kepemimpinan pertama (DPP Sementara) pra-Munas berlangsung dari tahun 1964-1965, dengan Ketuanya Mohammad Djazman Al-Kindi. Kepemimpinan kedua (1965-1967) adalah hasil Munas I di Surakarta (1-5 Mei 1965). Ketua Umum: Mohammad Djazman Al-Kindi; dan Sekretaris Jendral: A. Rosyad Sholeh. Kepemimpinan ketiga hasil reshuffle pada pertengahan 1966, Ketua Umumnya tetap; dan Soedibjo Markoes menjadi Pejabat Sekjen. Kepemimpinan keempat (1967-1969) hasil Munas II di Banjarmasin (26-30 November 1967), Ketua Umum tetap; dan Sekjennya adalah Syamsu Udaya Nurdin. Kepemimpinan kelima hasil reshuffle pada Konfernas di Magelang (1-4 Juli 1970), Ketua Umum-nya masih tetap; sedangkan yang menjadi Sekjen adalah Bahransyah Usman.
Selain Djazman, tokoh-tokoh awal IMM lainnya yang terkenal di antaranya seperti: A. Rosyad Sholeh, Soedibjo Markoes, Mohammad Arief, Sutrisno Muhdam, Zulkabir, Syamsu Udaya Nurdin, Nurwijoyo Sarjono, Basri Tambun, Fathurrahman, Soemarwan, Ali Kyai Demak, Sudar, M. Husni Thamrin, M. Susanto, Siti Ramlah, Deddy Abu Bakar, Slamet Sukirnanto, M. Amien Rais, Yahya Muhaimin, Abuseri Dimyati, Marzuki Usman, Abdul Hadi W.M. Machnun Husein, dll.
Peran dan kehendak IMM untuk meneguhkan dan memantapkan eksistensinya secara signifikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara serta untuk kepentingan ummat dan Muhammadiyah selama periode ini tampak menonjol, baik melalui pernyataan deklarasi-deklarasinya --seperti Deklarasi Kota Barat 1965 dan Deklarasi Garut 1967-- maupun dengan aktivitas kegiatan dan artikulasi gerakannya. Mulai tahun 1971-1975 disebut sebagai periode pengembangan, karena masalah-masalah yang menyangkut konsolidasi pimpinan dan organisasi tidak terlalu banyak dipersoalkan. Orientasi kegiatan dan dinamika gerakan IMM sudah mulai banyak diarahkan pada pengembangan organisasi seperti melalui program-program sosial, ekonomi, dan pendidikan. Dinamika gerakan IMM ini semakin memperteguh concern IMM terhadap masalah-masalah kehidupan mahasiswa, umat, dan bangsa di tengah gejolak sosial dan modernisasi pembangunan. Hal ini misalnya seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Baiturrahman 1975, maupun dalam hasil rumusan pemikiran dari Munas dan Konferensi IMM. Dalam periode ini hanya terjadi satu kali suksesi kepemimpinan di tingkat DPP IMM. Munas III di Yogyakarta (14-19 Maret 1971) menghasilkan A. Rosyad Sholeh sebagai Ketua Umum; dan Machnun Husein sebagai Sekjen. Kemudian Konfernas V di Padang memutuskan penambahan personalia staf DPP IMM, yaitu: Alfian Darmawan, Abbas Sani, Maksum Saidrum, Ajeng Kartini, Dahlan Rais, Ahmad Syaichu, dan Arief Hasbu.
Dalam periode ini pula terjadi peristiwa penting yang mewarnai keberadaan IMM, yaitu dalam hal pembentukan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) dan peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974). Waktu itu IMM tidak diakui sebagai salah satu pencetus kelahiran KNPI (23 Juli 1973), karena tidak ikut menandatangani Deklarasi Pemuda Indonesia sebagai landasan berdirinya KNPI. Sementara, pembuat dan perumus Deklarasi Pemuda Indonesia itu adalah Slamet Sukirnanto, salah seorang anggota DPP IMM, yang waktu itu tidak bersedia menandatangani deklarasi tersebut atas nama IMM. Ketidakikut sertaan Slamet Sukirnanto menandatangani deklarasi tersebut, dikarenakan pembentukan wadah generasi muda itu semula adalah secara perorangan dan sekedar sebagai wadah komunikasi antara generasi muda serta keanggotaannya bersifat pribadi. Namun ternyata pada saat penandatanganan harus mengatasnamakan organisasi. Dalam hal inilah letak persoalannya. Secara organisatoris, Slamet Sukirnanto menolak menandatangani deklarasi itu, tetapi secara pribadi ia bersedia. Ketika terjadi peristiwa Malari --yang berakibat pada tindakan represif terhadap gerakan mahasiswa--, maka pada tanggal 16 Januari 1974 IMM mengirim surat kepada Presiden Soeharto untuk mengadakan referendum dalam upaya mencari kebenaran obyektif mengenai kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Upaya ini diharapkan dapat tetap menjaga keutuhan persatuan serta kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar jangan sampai menjadi korban para pemegang policy. Dalam menghadapi aksi Malari tersebut, IMM berharap agar pemerintah tidak memadamkan aspirasi dan idealisme mahasiswa.
Di antara ide dan gagasan pemikiran IMM pada periode ini adalah mengenai pendidikan. Dalam hal ini IMM menyadari bahwa pendidikan adalah suatu usaha "human investmen" yang penting untuk melukis dan mewarnai masa depan bangsa. Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting untuk menumbuhkan dan membina mental attitude bangsa. Kemudian mengenai masalah organisasi mahasiswa, IMM berpendapat bahwa keberadaannya harus berfungsi sebagai organisasi kader dan sekaligus dakwah. Karena itu organisasi mahasiswa harus menganut asas potensi, partisipasi, keluwesan, dan kesederhanaan.
Sedangkan dalam hal generasi muda, IMM berpendangan bahwa pembinaannya harus senantiasa dikaitkan dengan strategi pembangunan nasional yang berjangka panjang. Untuk itu perlu adanya pembauran antara konsep generasi muda sebagai pelanjut dengan konsep generasi muda sebagai pembaharu. Demikian pula halnya dengan perpaduan antara pengertian kader dan pioner.
Setelah melewati periode pergolakan dan pemantapan serta pengembangan, pada tahun 1975-1985 IMM berada dalam periode tantangan. Dalam periode ini Muktamar IV IMM di Semarang (21-25 Desember 1975), menghasilkan Zulkabir sebagai Ketua Umum; dan M. Alfian Darmawan sebagai Sekjen. Dalam periode ini IMM sebetulnya tidak menghadapi konflik atau tantangan yang berarti, yang menyebabkan organisasi ini mengalami stagnasi. Namun persoalannya terletak pada terjadinya kevakuman kepemimpinan di tingkat nasional (DPP IMM) selama lebih kurang satu dasawarsa. Selama periode ini di tingkat DPP tidak terjadi suksesi dan regenerasi kepemimpinan, atau dengan kata lain tidak terselenggara musyawarah nasional atau muktamar, yang seharusnya berlangsung pada tahun 1978.
Kevakuman dan terjadinya kemandegan IMM di DPP ini menimbulkan keprihatinan dan keheranan bagi banyak pihak, khususnya di kalangan Muhammadiyah dan ortomnya. Pada tahun 1983, H.S. Prodjokusumo misalnya menanggapi masalah ini dalam tulisannya IMM Bangkitlah. Kemudian dengan nada menyindir dan dalam gaya personifikasi --tanpa bisa menutupi kekecewaannya tehadap IMM-- Umar Hasyim menulis: "Merenungi sejarahmu, kita jadi heran, ketika sejak Muktamar ke-4 tahun 1975 itu anda dengan lelapnya tidur nyenyak selama sepuluh tahun, karena pada bulan April 1986 engkau baru berhasil bermuktamar dan memilih kepengurusan DPP lagi. Sungguh luar biasa sekali, suasana dunia di mana anda berada ini demikian gegap gempitanya, tetapi anda bisa lelap tidur." Namun demikian, kendati di tingkat DPP terjadi kevakuman, justru di bawahnya IMM tetap eksis dan bergerak. Aktivitas kegiatan, program kerja, dan kaderisasi di tingkat bawah itu terus berjalan. Kevakuman DPP IMM tidak mempengaruhi aktivitas IMM di Daerah, Cabang, dan Komisariat. Identitas IMM ternyata begitu kuat melekat pada jiwa para pimpinan dan kader IMM di bawah. Di level bawah IMM masih tetap tumbuh subur. Meski berada dalam periode tantangan, IMM masih tetap berusaha untuk melahirkan ide dan gagasan pemikirannya. Di antara ide dan gagasannya itu adalah mengenai perlunya Menteri Negara Urusan Pemuda. Ide dan gagasan pemikiran tersebut berangkat dari latar belakang kemahasiswaan dan kepemudaan yang tidak mempunyai saluran yang semestinya. Untuk itulah IMM mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk mengnagkat seorang Menteri Negara Urusan Pemuda yang menyelenggarakan dan membina komunikasi dengan seluruh eksponen generasi muda. Kemudian, ketika terjadi Keputusan 15 Nopember 1978 (KNOP 15), IMM mengusulkan perlunya pengendalian dan pengarahan konsumsi masyarakat. Hal ini mengingat telah terjadinya bentuk konsumsi yang non-esensial dan tidak produktif. Di samping itu, perlunya perlindungan dan pembinaan industri kecil agar dapat bersaing dengan industri besar, oleh IMM dikemukakan kepada pemerintah. Demikian pula halnya dengan pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja perlu diperhatikan oleh pemerintah. Setelah mengalami kevakuman dan kemandegan selama satu dasawarsa itu, maka pada tahun 1985 IMM mulai memasuki periode kebangkitan. Periode ini dimulai dengan adanya SK PP Muhammadiyah No. 10/PP/1985 tertanggal 31 Agustus 1985 tentang pembentukan DPP (Sementara) IMM. DPP(S) ini terdiri dari: Ketua : Immawan Wahyudi (DIY)
Ketua I : Drs. Anwar Abbas (DKI)
Ketua II : Drs. M. Din Syamsuddin (DKI)
Ketua III : Farid Fathoni AF (Surakarta)
Sekretaris I : Mukhlis Ahasan Uji (DIY)
Sekretaris II : Nizam Burhanuddin (DKI)
Sekretarus III: Agus Syamsuddin (DIY)
Bendahara I : St. Daulah Khoiriati (DIY)
Bendahara II : Asmuyeni Muchtar (DKI)

Setelah dilantik pada tanggal 1 september 1985, DPP(S) IMM mulai menata organisasi dan menjalankan aktivitasnya. Pada tanggal 7-10 desember 1985 DPP(S) berhasil mengadakan Tanwir ke-7 IMM di Surakarta. Tanwir yang bertemakan "Bangkit dan Tegaskan Identitas Ikatan" ini pada akhirnya mampu membangkitkan IMM dari tidurnya yang panjang. Hingga kemudian pada tanggal 14-18 april 1986 DPP(S) berhasil menyelenggarakan Muktamar ke-5 IMM di Padang, Sumatra Barat. Selain pada akhirnya berhasil menyusun kepengurusan DPP IMM yang baru periode 1986-1989 (Ketua Umum: Nizam Burhanuddin; dan Sekjen: M. Arifin Nawawi), Muktamar V itu juga mampu merumuskan konsep pengembangan wawasan bangsa dan umat kaitannya dengan identitas Ikatan, penyusunan ulang sistem perkaderan, pengembangan organisasi dan pembahasan program kerja. Dalam Muktamar V itu IMM juga bisa menghasilkan Deklarasi Padang, yang mengartikulasikan visi dan keberpihakan IMM terhadap masalah-masalah dunia internasional, umat Islam di Indonesia, Muhammadiyah, IMM sendiri, serta pembinaan generasi muda dan mahasiswa. Dalam periode kebangkitan ini IMM tidak lepas dari halangan dan tantangan. Artikulasi gerakan IMM pun mengalami dinamika dan fluktuasi. Dalam periode kebangkitan (sampai sekarang) ini IMM telah mengalami beberapa kali Muktamar dan Tanwir, yang berperan untuk menpertahankan eksistensi IMM dan menyinambungkan regenerasi kepemimpinannya.
Muktamar VI di Ujungpandang (7-12 Juli 1989) menghasilkan DPP IMM (periode 1989-1992), dengan M. Agus Samsudin sebagai Ketua Umum; dan Fauzan sebagai Sekjen. Kemudian Tanwir VIII di Medan (24-28 April 1991), memutuskan Abdul Al Hasyir sebagai Sekjen, menggantikan Fauzan. Pada tanggal 25-31 Desember 1992 IMM berhasil menyelenggarakan Muktamar VII di Purwokerto, yang menghasilkan Tatang Sutahyar W sebagai Ketua Umum; dan Syahril Syah sebagai Sekjen untuk periode 1993-1995. Selanjutnya, pada Tanwir IX di Palembang (7-11 Juli 1994) terjadi pergantian Ketua Umum dari Tatang Sutahyar oleh Syahril Syah sebagai Pj. Ketua Umum, dan Armyn Gultom sebagai Sekjen. Selanjutnya, pada tanggal 25-31 Maret 1995 IMM kembali mengadakan Muktamar VIII di Kendari yang berhasil memilih Syahril Syah sebagai Ketua Umum dan Abd. Rohim Ghazali sebagai Sekjen untuk periode 1995-1997. Kemudian pada tanggal 22 Februari-2 Maret 1997, IMM kembali mengadakan Muktamar IX di Medan yang menghasilkan Irwan Badillah sebagai Ketua Umum dan M. Irfan Islami Dj. sebagai Sekjen untuk periode 1997-2000. Sampai sekarang IMM memiliki 26 DPD dan 115 PC, serta anggota sebanyak kurang lebih 567.000 orang. Anggota IMM tersebut tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta perguruan tinggi Muhammadiyah khususnya. Artikulasi gerakan IMM tidak terbatas dalam aktivitas dan pelaksanaan program-program kerja yang rutin belaka, tetapi juga aktif dalam menyikapi dan merespons persoalan-persoalan sosial-politik dan kemanusiaan, baik dalam skala lokal, nasional, maupun global. Kepedulian dan keberpihakan IMM seperti ini, karena IMM tidak ingin teralienasi oleh dinamika zaman dan terbawa arus secara pasif oleh perubahan sosial yang terus bergulir. Begitu pula ketika terjadi aksi-aksi gerakan reformasi yang banyak dilakukan kalangan mahasiswa dan kaum intelektual pada tahun 1997, IMM tidak ketinggalan melibatkan diri dan aktif bergerak di dalamnya. Baik di tingkat pusat maupun daerah, bersama eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah lainnya IMM bergerak untuk mendukung dan menyukseskan aksi gerakan reformasi yang berhasil melengserkan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Di Yogyakarta misalnya IMM bergabung dalam Komnas AMM bersama organisasi otonom lainnya dalam mengartikulasikan gerakan dan tuntutan reformasi. Selain itu di beberapa Komisariat dan Korkom, IMM juga banyak mengadakan aksi dan gerakan serupa. Begitu pula dengan IMM di daerah-daerah lainnya, seperti di Jakarta yang menamakan gerakannya dengan FAKSI IMM (Front Aksi untuk Reformasi). Di Surabaya dan Ujungpandang IMM ada dalam GEMPAR (Gerakan Mahasiswa Pro Amien Rais) dsb. Selain itu, ketika akan berlangsung jajak pendapat penentuan status Timor-Timur pada tanggal 30 Agustus 1999, IMM juga berpartisipasi aktif dalam pemantauannya. Pada waktu akan, selama, dan sesudah berlangsung jajak pendapat tersebut IMM telah mengirimkan Immawan Wachid Ridwan (Biro Kerjasama Luar Negeri dan Hubungan Internasional DPP IMM) ke Timor-Timur untuk melakukan pemantauan bersama LSM dan OKP lainnya.
Susunan dan Struktur Organisasi
Seperti Muhammadiyah dan organisasi otonom lainnya, secara vertikal IMM memiliki susunan organisasi mulai dari tingkat pusat sampai komisariat. Lengkapnya: Komisariat, Cabang, Daerah, dan Pusat. Kepemimpinannya disebut Pmpinan Komisariat (PK), Pimpinan Cabang (PC), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Komisariat ialah kesatuan anggota dalam suatu fakultas/akademi atau tempat tertentu. Cabang ialah kesatuan komisariat-komisariat dalam suatu Daerah Tingkat II atau daerah tertentu. Daerah ialah kesatuan cabang-cabang dalam suatu Propinsi/Daerah Tingkat I. Pusat ialah kesatuan daerah-daerah dalam Negara Republik Indonesia. Sebagai salah satu organisasi otonom Muhammadiyah, maka masing-masing level dari susunan organisasi tersebut mempunyai hubungan keorganisasian yang horizontal dengan Pimpinan Muhammadiyah. DPP IMM dengan PP Muhammadiyah; DPD IMM dengan PW Muhammadiyah; PC IMM dengan PD Muhammadiyah; dan PK IMM dengan PC/PR Muhammadiyah.
Adapun struktur organisasi IMM, berdasarkan hasil Muktamar IX di Medan adalah sebagai berikut. Mulai dari tingkat DPP sampai PK terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Jenderal --khusus untuk DPP, sedang untuk DPD sampai PK: Sekretaris Umum--, Bendahara Umum (bersama dua wakilnya); ditambah dengan beberapa Ketua Bidang dan Sekretaris Bidang (Organisasi, Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Hikmah. Sosial Ekonomi, dan Immawati). Struktur organisasi ini dibantu oleh sebuah biro, beberapa lembaga studi, dan dua korps (Biro Kerjasama Luar Negeri dan Hubungan Iternasional [hanya ada di DPP]; Lembaga Studi Kelembagaan dan Pengembangan Organisasi; Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Kader; Lembaga Pengembangan Ilmu Agama dan Sosial Budaya; Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Penerapan Teknologi; Lembaga Pers IMM [hanya ada di tingkat DPP dan DPD]; Lembaga Pengkajian Strategi dan Kebijakan; Lembaga Kesejahteraan Rakyat dan Lingkungan Hidup; Lembaga Studi dan Pengembangan Ekonomi Ummat [istilah lembaga hanya untuk DPP dan DPD, sedang di PC menggunakan istilah departemen]; Korps Instruktur [hanya ada di tingkat DPP sampai PC]; dan Korps Immawati). Kemudian di tingkat PK, departemen yang ada adalah: Departemen Organisasi, Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Hikmah, dan Sosial Ekonomi.
Program Kerja
Secara umum program kerja IMM dilaksanakan untuk memantapkan eksistensi organisasi demi mencapai tujuannya, "mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah" (AD IMM Pasal 6). Untuk menunjang pencapaian tujuan IMM tersebut, maka perencanaan dan pelaksanaan program kerja diorientasikan bagi terbentuknya profil kader IMM yang memiliki kompetensi dasar aqidah, kompetensi dasar intelektual, dan kompetensi dasar humanitas . Sebagai organisasi yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan, maka program kerja IMM pada dasarnya tidak bisa lepas dari tiga bidang garapan tersebut. Perencanaan dan pelaksanaan program kerja tersebut memiliki stressing yang berbeda-beda (berurutan dan saling menunjang) pada masing-masing level kepemimpinan. Di tingkat Komisariat: kemahasiswaan, perkaderan, keorganisasian, kemasyarakatan. Di tingkat Cabang: Perkaderan, kemahasiswaan, keorganisasian, kemasyarakatan. Di tingkat Daerah: keorganisasian, kemasyarakatan, perkaderan, kemahasiswaan. Di tingkast Pusat: Kemasyarakatan, keorganisasian, perkaderan, kemahasiswaan.
Berkaitan dengan program kerja jangka panjang, maka sasaran utamanya diarahkan pada upaya perumusan visi dan peran sosial politik IMM memasuki abad XXI. Hal ini tidak lepas dari ikhtiar untuk memantapkan eksistensi IMM demi tercapainya tujuan organisasi (lihat AD IMM Pasal 6). Sasaran utama dan program jangka panjang ini merujuk pada dan melanjutkan prioritas program yang telah diputuskan pada Muktamar VII IMM di Purwokerto (1992). Program dimaksud menetapkan strategi pembinaan dan pengembangan organisasi secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan selama lima periode muktamar IMM.
Periode Muktamar IX diarahkan pada pemantapan konsolidasi internal (organisasi, pimpinan, dan program) dengan meningkatkan upaya pembangunan kualitas institusional dan pemantapan mekanisme kaderisasi dalam menghadapi perkembangan situasi sosial politik nasional yang semakin dinamis. Periode Muktamar X diarahkan pada penguatan orientasi kekaderan dengan meningkatkan mutu sumber daya kader sebagai penopang utama kekuatan organisasi dalam transformasi sosial masyarakat. Periode Muktamar XI diarahkan pada penguatan peran institusi organisasi baik secara internal (pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan pembaruan dan amal usaha Muhammadiyah) maupun eksternal (kader umat dan kader bangsa).
Periode Muktamar XII diarahkan pada pemantapan peran IMM dalam wilayah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara memasuki era globalisasi yang lebih luas. Periode Muktamar XIII diarahkan pada pemberdayaan institusi organisasi serta pemantapan peranan IMM dalam kehidupan sosial politik bangsa.
Kemudian pelaksanaan program jangka panjang itu memiliki sasaran khusus pada masing-masing bidangnya. Bidang Organisasi diarahkan pada terciptanya struktur dan fungsi organisasi serta mekanisme kepemimpinan yang mantap dan mendukung gerak IMM dalam mencapai tujuannya. Program konsolidasi gerakan IMM juga diarahkan bagi terciptanya kekuatan gerak IMM baik ke dalam maupun ke luar sebagai modal penggerak bagi pengembangan gerakan IMM.
Bidang Kaderisasi diarahkan pada penguatan tiga kompetensi dasar kader IMM (aqidah, intelektual, dan humanitas) yang secara dinamis mampu menempatkan diri sebagai agen pelaku perubahan sosial bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi diarahkan pada pembangunan budaya iptek dan penguatan paradigma ilmu yang melandasi setiap agenda dan aksi gerakan IMMdalam menyikapi tantangan zaman.
Bidang Hikmah diarahkan pada penguatan peran sosial politik IMM di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam peran serta dan partisipasi sosial politik generasi muda (mahasiswa).
Bidang Sosial Ekonomi diarahkan pada penumbuhkembangan budaya dan wawasan wiraswasta di lingkungan IMM, terutama dalam membangun dan memberdayakan potensi ekonomi kerakyatan.
Bidang Immawati diarahkan pada upaya penguatan jati diri dan peran aktif sumber daya kader puteri IMM dalam transformasi sosial menuju masyarakat utama

Sejarah Singkat Penamaan PMII


Akhirnya forum menyetujui nama “PMII”, singkatan dari “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”, setelah melalui beberapa perdebatan. Apakah PMII itu singkatan dari “Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia” atau “Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia?” Ternyata permasalahannya mengerucut pada haruf “P”. Kemudian atas dasar pemikiran bahwa sifat mahasiswa itu diantaranya harus aktif, dinamis atau bergerak (movement). Selanjutnya mendapat awalan “Per” dan akhiran “an”, maka disepakati huruf “P” kependekan dari “Pergerakan”.

Makna “Pergerakan” yang terkandung dalam PMII adalah Dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan rahmat bagi alam sekitarnya.

Dalam konteks individual, komunitas maupun organisatoris, kiprah PMII harus senantiasa mencerminkan pergerakannya menuju kondisi yang labih baik sebagai perwujudan tanggung jawabnya memberi rahmat pada lingkungannya.

“Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan potensi kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada didalam kualitas ke khalifahannya.

Pengertian “Mahasiswa” yang terkandung dalam PMII adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri.

Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan akademis, insan sosial dan isan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, tanggung jawan intelektual, tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan tanggung jawab individu baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara

Pengertian “Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan paradigma ahlussunnah waljama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Isalam secara proporsional antara Iman. Islam dan Ihsan yang di dalam pola pikir dan pola perilakunya tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif dan integratif.

Pengertian “Indonesia” yang terkandung dalan PMII adalah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang mempunyai ffalsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 1945 dengan kesadaran kesatuan dan keutuhan bangsa dan negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke yang di ikat dengan kesadaran wawasan Nusantara.

Secara totalitas PMII sebagai organisasi merupakan suatu gerakan yang bertujuan melahirkan kader-kader bangsa yang mempunyai integritas diri sebagai hamba yang bertaqwa kepada Allah SWT dan atas dasar ketaqwaannya berkiprah mewujudkan peran ketuhanannya membangun masyarakat bangsa dan negara Indonesia menuju suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam ampunan dan ridlo Allah SWT )

Sedangkan pengertian Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah yang menjadi paham organisasi adalah Islam sebagai universalitas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek tersebut dapat dijabarkan kedalam tata Aqidah, Syariah, dan Tasyawuf. Dalam bidan Aqidah mengikuti paham Al-Asya’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang syariah mengikuti salah satu mazhab empat yaitu: Syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi. Sedang dalam bidang Tasawuf, mengikuti Imam Juned Al-Bagdadi dan Imam Al-Gozali. Masing-masing ketiga aspek itu dijadikan paham organisasi PMII dengan tanpa meninggalkan wawasan dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah serta perilaku sahabat Rasul. Aspek Fiqih diupayakan penekanannya pada proses pengambilan hukum, yaitu Ushul Fiqih dan Qoidah Fiqih, bukan semata-mata hukum itu sendiri sebagai produknya. (lihat NDP PMII)

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa para mahasiswa nahdliyin sebenarnya dari segi cara berfikir tidak jauh berbeda dengan mahasiswa pada umumnya, yang menghedaki kebebasan. Sedangkan dalam bertindak cendrung anti anti kemapanan, terlebih jika kelahiran PMII itu dihubungkan dengan tradisi keagamaan di kalangan NU, misalnya bagi putra-putri harus berbeda/dipisah organisasi, PMII justru keluar dari tradisi itu. Fenomena ini barangali termasuk hal yang patut mendapat perhatian bagi perkembangan pemikiran ahlussunnah wal-jama’ah

Adapun susunan pengurus pusat PMII periode pertama ini baru tersusun secara lengkap pada bulan Mei 1960. Seperti diketahui, bahwa PMII pada awal berdirinya merupakan organisasi mahasiswa yang dependen dengan NU , maka PP. PMII dengan surat tertanggal 8 Juni 1960 mengirim surat permohonan kepada PBNU untuk mengesahkan kepengurusan PP PMII tersebut. Pada tanggal 14 Juni 1960 PBNU menyatakan bahwa organisasi PMII dapat diterima dengan sah sebagai keluarga besar partai NU dan diberi mandat untuk membentuk cabang-cabang di seluruh Indonesia, sedang yang menandatangani SK tersebut adalah DR. KH. Idham Chalid selaku ketua Umum PBNU dan H. Aminuddin Aziz selaku wakil sekretaris jendral PBNU ).

Musyawarah mahasiswa nahdliyin di Surabaya yang dikenal dengan nama PMII, hanya menghasilkan peraturan dasar organisasi, maka untuk melengkapi peraturan organisasi tersebut dibentuklsn satu panitia kecil yang diketuai oleh sahabat M. Said Budairi dengan anggota sahabat Chalid mawardi dan sahabat Fahrurrazi AH, untuk merumuskan peraturan rumah tangga PMII. Dalam sidang pleno II PP PMII yang diselenggarakan dari tanggal 8 - 9 September 1960, Peraturan rumah tangga PMII dinyatakan syah berlaku melengkapi paraturan dasar PMII yang sudah ada sebelumnya )

Di samping itu, sidang pleno II PP PMII juga mengesahkan bentuk muts (topi), selempang PMII, adapun lambang PMII diserahkan kepada pengurus harian, yang akhirnya dipuruskan bahwa lambang PMII berbentuk perisai seperti yang ada sekarang (rincian secara lengkap dapat dilihat dalam lampiran peraturan rumah tangga PMII). Dalam sidang ini pula dikeluarkan pokok-pokok aturan mengenai penerimaan anggota baru ) sekarang dikenal dengan MAPABA.

Pada tahap-tahap awal berdirinya PMII banyak dibantu warga NU terutama PP LP. Ma’arif NU. Sejak musyawarah mahssiswa nahdliyin di surabaya sampai memberikan pengertian kepada Pesantren-pesantren (perlu diketahui, pada awal berdirinya, di Pondok-pondok Pesantren dapat dibentuk PMII dengan anggota para santri yang telah lulus madrasah Aliyah dan seang mengkaji kitab yang tingkatannya sesuai dengan pelajaran yang diberikan di perguruan tinggi agama). Dengan adanya kebijakan seperti ini ternyata dapat mempercepat proses pengembangan PMII).

Arus Politik Organisasi Eksternal Kampus


ORGANISASI 'pergerakan' merupakan salah satu sendi kekuatan mahasiswa. Selama ini, spirit berdikari mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya kerap diakomodasi dalam arus organisasi eksternal. Entah itu bernaung di bawah payung HMI, PMII, KAMMI, GMNI atau pun organisasi eksternal kampus lainnya. Tak jarang aksi-aksi yang diadakan oleh mahasiswa membawa bendera organisasi eksternal. Namun apakah pergerakan itu selalu beraktivitas di luar kampus?

Tidak dimungkiri dan telah menjadi rahasia umum bagi warga kampus, bahwa label kampus juga memengaruhi warna pigmen dominan dari organisasi eksternalnya. Misalnya dari kampus berlabel ‘hijau’ akan didominasi pergerakan bercorak tradisional, sedang kampus berwarna ‘biru’ akan didominasi pergerakan bercorak modernis.

Kekuatan itu bak status quo yang perlu dipertahankan, entah bagaimana pun caranya, para kader akan berusaha dengan semaksimal mungkin menjaring ‘pengikut-pengikut’ baru untuk memperkuat dominasinya. Setelah sekian anggota terjaring, yang umum terjadi adalah, anggota baru diindoktrinasi bahwa organisasi mereka adalah yang paling kaffah. Bahkan, sekedar ikut dalam perekrutan organisasi lain bisa berakibat
‘dimurtadkan’ dari organisasinya.

Meskipun organisasi eksternal mengklaim diri sebagai organisasi pergerakan dan pengkaderan, namun dalam kasunyatannya mengarah pula pada politisasi. Tidak dapat dielak, bahwa organisasi eksternal telah menjadi lokomotif untuk mengkooptasi mahasiswa pada ranah politik kampus. Sehingga, meskipun organisasi semacam ini berlabel eksternal, namun toh menjadi ‘senapan’ manuver-manuver yang mengakomodasi penyebarannya ke berbagai lini internal kampus.

Perekrutan anggota oleh organisasi eksternal kerap dilakukan menjelang Pemilu Raya Mahasiswa (Pemira). Hal ini dilakukan dalam rangka suksesi pemira, agar puncak kekuasaan, Presiden Mahasiswa bisa diduduki oleh kadernya. Kerap kali pemimpin puncak di internal kampus dilahirkan dari kekuatan massa organisasi eksternal, yang anggotanya paling banyak. Jika organisasi eksternal kampus menggunakan kekuatannya masuk ke dalam sistem politik kampus, maka mau tidak mau yang memunyai massa paling banyaklah yang akan memenangkan perebutan kursi legislatif
(Dewan Perwakilan Mahasiswa: DPM), serta memenangkan jabatan eksekutif (BEM).

Arah organisasi eksternal yang semacam ini, menjadikan tatanan dalam internal kampus tidak fokus pada aktivitasnya. Akan ada kecemburuan sosial, akan ada sentimen-sentimen yang tidak perlu. Bagaimana tidak, karena sikap organisasi eksternal yang cenderung menginginkan posisi-posisi penting dalam jabatan internal didominasi dari pihaknya, maka hubungan dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), misalnya, bisa tak harmonis.

Misalkan ada anggota UKM yang berasal dari organisasi eksternal A, sedangkan yang lain dari B, jika tak menahan diri, bisa saja antara A dan B terjadi sentimen dalam lingkup hubungan internal kampus. Itu karena mereka terlanjur membawa dan mengaitkan status keanggotaan dalam suatu organisasi eksternal, ke dalam organisasi internal kampusnya.

Seperti pandangan Talcott Parsons (1981) yang disadur oleh Ali Mandan (1986), bahwa konflik bisa terjadi karena benturan-benturan kepentingan (perebutan status, kekuasaan dan materi) dari para aktor yang ada. Asumsi yang melandasi konflik tersebut, lanjut Parsons, karena setiap aktor dalam organisasi saling berebut tujuan tertentu, dan aktor-aktor itu mempunyai cara untuk mencapai tujuannya. Maka rentan sekali terjadi konflik dalam organisasi kampus yang anggotanya saling merebutkan status dan kekuasaan.

Terlebih lagi, kecenderungan organisasi eksternal yang menjadi backing dari penguasa, menjadikan mahasiswa tak lagi bisa obyektif sebagai kontrol sosial kekuasaan karena telah terkebiri. Keterikatan organisasi eksternal dengan salah satu partai misalnya, akan menjadikan idealisme dan semangat perjuangan membela rakyat menjadi tergadaikan. Suara mahasiswa akan terbungkam, dan masuk dalam arus politik kepentingan interest pihak tertentu.

Itu mengapa salah satu tokoh pergerakan angkatan ‘65, Soe Hok Gie (1942-1969), tak pernah setuju adanya politisasi organisasi eksternal kampus yang masuk ke dalam organisasi internal kampus, apalagi saat itu organisasi eksternal kampus diketahui berafiliasi secara langsung kepada salah satu partai politik.

Gie yang menjadi mahasiswa pencintaalam dari UI saat itu, bersama rekan-rekannya, adalah salah satu tokoh yang menolak berkooptasi dengan kekuatan politik di luar kampus. Ia lebih memilih berdiri dengan idealismenya, dari pada harus terseret ke arus politik praktis. Gie lebih memilih bersifat netral dan bangga membawa nama almamater kampusnya tanpa embel-embel organisasi eksternal.

Ia tak mau terperangkap pada hasrat kekuasaan sebagai tujuan akhir. Itu mengapa dirinya menentang politisasi organisasi pergerakan. Dengan demikian, ideologi dan idealisme yang diusung oleh organisasi internal mahasiswa tetap bisa berkumandang membela kepentingan rakyat tanpa harus terbelenggu kuasa secara praktis.

Setelah sekian lama pemikiran Gie menjadi sejarah pergerakan. Kini sudah saatnya organisasi eksternal kampus menyusun kembali visi-misinya, agar tak terjebak pada arah politisasi yang menenggelamkan idealisme dan ideologi pergerakan. Karena sejatinya pergerakan mahasiswa memerlukan komitmen untuk tak ‘berselingkuh’ dengan pihak yang seharusnya diawasi.

Selain itu, memanfaatkan massa dari perekrutan anggota baru, sebagai pendukung kekuatan politik dalam kampus, juga merupakan pembodohan terhadap anggota sendiri dan publik. Karena jika mau demikian, seharusnya organisasi eksternal berani mengakui diri sebagai tangan dari peminat kekuasaan dalam kampus, dan bukan organisasi yang bernilai perjuangan dalam hal membela rakyat. Itu mengapa Soe Hok Gie berujar: “Lebih baik diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan.”

3 Strategi Pemasaran untuk Menghasilkan Lebih Banyak Penjualan


Strategi Pemasaran 1: Coba Pendekatan Baru
Ketika satu cara pemasaran yang anda lakukan dirasa kurang efektif, anda harus siapkan cara pemasaran baru. Anda butuh pendekatan baru untuk memasarkan produk anda. Coba lihat dari sudut pandang konsumen, apa yang kira-kira kurang dari pendekatan anda selama ini. Temukan di mana hambatannya dan mulai ACTION memperbaikinya!
Namun, ada satu hal yang tak berubah dalam dunia pemasaran yaitu anda harus selalu berbicara tentang nilai manfaat produk atau layanan anda.
Strategi Pemasaran 2: Lakukan Tes
Selalu upayakan untuk melakukan tes dalam setiap aktivitas pemasaran yang anda lakukan. Mengapa? Sebab hanya dengan demikian, anda bisa tahu seperti apa strategi pemasaran paling efektif untuk produk anda. Dengan melakukan tes juga, anda menghemat tenaga dan biaya.
Strategi Pemasaran 3: Berikan Deal Terbaik
Anda sudah memberikan penawaran terhadap prospek anda, namun ternyata sambutannya dingin saja. Penyebabnya bisa jadi prospek merasa penawaran anda belum deal terbaik. Setiap orang selalu ingin yang terbaik. Begitupun konsumen anda, dan anda sendiri tentunya.
Coba lihat kembali penawaran anda. Cari di bagian mana yang bisa anda tingkatkan sehingga menjadi nilai jual yang diinginkan konsumen. Mungkin soal keuntungan yang anda berikan, atau bisa juga soal harga, atau bisa jadi yang lainnya.

Cara Mengakali Malas Makan Waktu Sahur



Cara Mengakali Malas Makan Waktu Sahur, membangunkan anak kala sedang tertidur lelap untuk sahur memang bukan pekerjaan mudah. Namun, jangan sampai melewatkan waktu sahur karena si anak sulit dibangunkan. Sahur sebanding dengan sarapan, karena sedikitnya menyumbang sepertiga jumlah energi untuk satu hari (sekitar 300-675 kalori). Demikian pula dengan manfaatnya.

Cara Mengakali Malas Makan Waktu Sahur, karena kegunaan sahur sama dengan sarapan. Sarapan penting bagi anak-anak maupun dewasa, karena dapat mempengaruhi kemampuan konsentrasi. Anak yang terbiasa sarapan memiliki kemampuan memecahkan masalah yang lebih baik dibandingkan yang tidak sarapan. Alasannya, sarapan adalah sumber energi untuk beraktivitas pada hari itu. Setelah tidur selama 8 jam pada malam hari, maka kadar glukosa darah dalam tubuh seseorang mulai menurun pada keesokan harinya. Padahal kadar glukosa darah yang baik akan memudahkan berkonsentrasi yang tentunya dapat membantu seseorang dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.

Nah, untuk menyiasati agar anak tidak malas kala sahur ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Di antaranya dengan menciptakan makanan sepinggan yang sarat gizi. Makanan sepinggan lebih praktis namun memiliki zat gizi yang lengkap (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral).

Untuk menghindari kebosanan, lakukan diversifikasi atau penganekaragaman bahan pangan. Misal, makaroni skotel sayuran yang terdiri atas campuran makaroni, telur, daging sapi giling, wortel, brokoli, susu, dan taburan keju. Cukup beragam dan dapat memenuhi kebutuhan akan nutrisi anak dengan gizi seimbang.

Hal yang patut diperhatikan adalah kala anak berbuka puasa. Setelah menahan lapar terkadang makanan yang dikonsumsi menjadi tidak terkontrol. Padahal berbuka puasa adalah menyumbang sedikitnya 2/3 kebutuhan akan nutrisi per hari. Ketika berbuka disarankan mengonsumsi tajil (hidangan pembuka) yang mampu meningkatkan kadar gula dalam darah agar tidak lemas. Namun bukan yang berasal dari karbohidrat sederhana (gula), sebaiknya adalah karbohidrat kompleks. Karbohidrat kompleks ini dapat diperoleh dari buah-buahan untuk meningkatkan kadar gula darah secara perlahan.

Untuk menggugah selera makan sebaiknya sajikan hidangan berbuka (tajil) yang sarat gizi dengan komposisi gizi seimbang. Contoh, sari buah, atau makanan kecil kaya serat.

Berikan anak makanan secara bertahap, tajil dulu, lalu mintalah anak untuk melaksanakan ibadah salat Magrib. Setelah itu, ajaklah anak mengonsumsi hidangan utama yang kaya nutrisi. Untuk menggugah selera makan, sajikan hidangan sarat gizi dalam penataan yang menarik. Misal, nasi dibentuk sesuai dengan karakter favorit anak-anak dan ditambahkan berbagai sayuran dan lauk sebagai hiasan, sekaligus pemenuh gizi seimbang.

Semoga Cara Mengakali Malas Makan Waktu Sahur bisa membantu Anda semuanya para pembaca setia. Semoga puasa kita kali ini diberikan kelancaran dan barokah oleh ALLAH SWT, amin!. Baca juga tentang Tips, dan Fenomena kami yang lebih menarik berikut ini.

Konflik Malaysia VS Indonesia Semakin Memanas!!!


Konflik Malaysia VS Indonesia Semakin Memanas!!! Seperti yang sudah kita ketahui bahwa negara kita Indonesia sedang kembali berseteru setelah ada beberapa kasus, semakin hari ketegangan semakin memanas saja seakan seperti pertandingan sepakbola menjelang injury time. Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman kemarin mengancam akan mengeluarkan imbauan agar warganya menunda dulu rencana berkunjung ke Indonesia (travel advisory) jika situasinya terus memburuk. “Ini sudah di luar batas kesabaran,” ungkap dari Menteri Anifah. Terlihat sudah konflik Indonesia – Malaysia semakin memanas saja.

Beliau merasa tindakan para demonstran melemparkan kotoran manusia di kantor Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta dan ancaman terhadap warga Malaysia di Indonesia sudah terlalu berlebihan. “Kami mesti menjaga integritas negara kami. Kami tahu di mana titik kesabaran kami,” ungkap beliau soal protes yang bermula dari penangkapan tiga pegawai maritim Indonesia itu.
Anifah pun meminta kepada pihak berwenang di Indonesia mengantisipasi tindakan tak elok tersebut dan mendesak agar penjagaan keamanan di Kedubes Malaysia ditingkatkan. “Semacam blokade sehingga barang-barang yang dilempar tidak sampai ke gedung Kedutaan,” beber beliau.
Tengku Sharifuddin Tengku Ahmad sebagai Sekretaris Pers Perdana Menteri Malaysia mengatakan tentang pernyataan travel advisory, “Itu baru advisory, belum warning. Masih sebatas nasihat (imbauan), belum peringatan,” ungkap beliau.
Kementerian Luar Negeri Indonesia menganggap travel advisory yang dikeluarkan pemerintah Malaysia lebih ditujukan dalam konteks domestik Malaysia. Seperti yang di ungkapkan oleh, juru bicara Kementerian, Teuku Faizasyah, “Belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Malaysia soal itu. Kami belum bisa mengomentari.”
konflik indonesia vs malaysia memanas
Faizasyah juga mengimbau kepada semua unsur masyarakat ikut bertanggung jawab meredakan ketegangan yang terjadi antara Malaysia dan Indonesia yang terlihat semakin memanas ini. Sehari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan oleh polisi Malaysia pada 13 Agustus lalu akibat kesalahpahaman soal koordinat di antara kedua negara. Beliau mengungkapkan saat rapat kerja di ruang rapat Komisi Pertahanan “Malaysia juga mengklaim penangkapan itu ada di wilayahnya.”
Karena permasalahan tersebut, ungkap Menteri Marty, pemerintah Indonesia akan membentuk tim khusus yang akan berfokus menangani masalah perbatasan dengan Malaysia dan masalah para warga Indonesia yang terancam hukuman mati di Malaysia.”Presiden menyetujui agar dibentuk tim terpadu,” ungkap dari beliau.
Dalam menanggapi reaksi keras pemerintah Malaysia, anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Lily Wahid, meminta kepada pemerintah Indonesia tidak lemah dalam menghadapi tingkah polah Malaysia. Ia pun mendesak pemerintah Indonesia tak terjebak pada kebijakan zero enemy. “Zero enemy million friends itu impian,” tegasnya.
Akankah konflik Indonesia vs Malaysia akan terus memanas? Semoga saja di ketemukan jalan tengah agar kedua belah pihak merasa puas.